Menyusuri Jejak Abad ke-8 di Ratu Boko
Menyusuri situs arkeologi yang lebih tua dari Candi Borobudur dan Candi Prambanan, ditemukan Van Boeckholtz tahun 1790 di atas bukit Ratu Boko, menumbuhkan rasa takjub akan kebesaran masa lalu Indonesia. Situs Ratu Boko namanya. Situs peninggalan jejak kemajuan manusia Indonesia di abad ke-8. Betapa takjub melihat bangunan dan tumpukan bebatuan andesit bukti kejayaan Dinasti Sailendra di masa lalu. Tak terbayang indahnya kawasan di atas bukit ini pada masa seribu dua ratusan tahun yang lalu. Kondisi yang ada sekarang ini saja terlihat indah dan cukup menggambarkan kondisinya di masa lalu, yang tentunya di luar imajinasi siapapun yang hidup di masa kini.
Berjarak 18 km dari kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Prambanan, Ratu Boko terletak di atas bukit kapur seluas 160.898m2 di ketinggian 195,97 mdpl. Perusahaan swasta sebagai pengelola, menata kawasan situs ini menjadi tempat nyaman bagi pengunjung. Tersedia berbagai fasilitas penunjang seperti restoran, tempat tunggu di bawah pohon beringin yang rindang, souvenir shop dan toilet yang bersih. Pada jalan menuju bangunan situs disediakan kursi dan gazebo untuk tempat beristirahat. Ada kolam cukup besar dengan air mancurnya dan disebelahnya ada kandang beberapa ekor rusa tutul. Pengunjung dapat bermain dengan rusa-rusa tersebut dari luar kandang atau memberinya makan sayur mayur. Uang Rp.3000 dapat ditukar dengan saur mayur yang disediakan pengelola.
Dari sini, pengunjung sedikit melangkah maka dapat menyaksikan lanskap bagian depan Ratu Boko secara utuh. Tampak bangunan gapura Ratu Boko di tengah tangga diapit bebatuan andesit yang disusun membentuk dinding tebal. Rumput hijau dan langit biru tampak kontras dengan warna bangunan batu andesit berwarna abu hitam gelap dan memutih di bagian tertentu karena lumut yang menempel. Dari sini saja Ratu Boko tampak menakjubkan.
Menaiki tangga dan berdiri sejenak di bawah cungkup bangunan gapura sambil memandang ke empat penjuru mata angin, menambah ketakjuban akan kejayaan masa lalu. Terasa dibawa ke masa lalu. Ntah bagaimana kehidupan saat itu sehingga dapat menghasilkan bangunan berarsitektur indah seperti ini. Melewati dua bangunan gapura berlapis, dihadapan mata terbentang halaman luas berumput hijau dengan beberapa pohon tumbuh menjulang. Pohon kelapa dan pohon randu yang sedang berbuah lebat dengan sedikit daun. Seorang perempuan tua bersama cucunya membentang tikar dibawah pohon rindang, menjajakan dagangan pengusir dahaga.
Bagian selatan halaman hijau terdapat dua paseban. Masing-masing bangunan paseban ini berupa tumpukan batu andesit yang disusun rapi membentuk lantai persegi empat dengan panjang sekitar 24 m, lebar 13 m dan tinggi 1 m. Diperkirakan paseban ini sebagai tempat menerima tamu. Berdiri di atas paseban ini, serasa berada satu lantai bersama tamu-tamu di masa lampau. Batu-batu besar persegi namun tak sama ukurannya disusun rapi berhimpitan.
Di bagian selatan paseban, ada gerbang kecil untuk menuruni tangga ke bagian Ratu Boko lainnya. Pada bagian ini, dapat melihat tembok memanjang seperti benteng. Di sisi lain, tumpukan batu-batu dibiarkan karena tidak jelas lagi bentuk bangunannya. Pohon melinjo tumbuh subur berjajar rapi di antara tumpukan batu tersebut. Ada lagi bangunan persegi menyerupai benteng dengan pintu gerbang kecil di ketiga sisi bangunan. Bagian dalamnya berupa lantai datar dari tumpukan batu menyerupai tempat pertunjukan seni moderen saat ini. Bangunan ini berukuran besar namun tampak sederhana.
Bagian timur terdapat kompleks kolam yang dibagian menjadi kolam utara dan kolam selatan. Kedua kolam ini dihubungkan dengan gapura yang hanya bisa dilewati satu orang. Kolam utara berbentuk persegi panjang sebanyak 7 kolam, sedangkan kolam selatan berjumlah 28 kolam dengan 27 kolam berbentuk bundar dan 1 kolam persegi empat.
Duduk pada bagian tepi kolam di ketinggian yang cukup untuk memandangai kompleks kolam, ada kedamaian dan kenyamanan yang sulit diungkapkan. Sambil membayangkan seperti apa aktivitas di masa lalu di tempat ini, bagaimana harmoni kehidupan mereka dalam menciptakan tempat indah seperti ini dan pertanyaan-pertanyaan lain sebagai bentuk takjub. Di kejauhan pegunungan seribu tampak hijau di bawah langit biru. Sore hari setelah jam 15.00 WIB saat terbaik duduk di bagian Ratu Boko ini. Kiranya sebutan ” Abhayagiri Wihara ” untuk Ratu Boko sebagaimana tertulis di dalam Prasasti Rakai Panangkaran tahun 746-784 M, yang berarti asrama di atas bukit yang penuh kedamaian, sangatlah tepat.
Kembali ke Yogyakarta, sayang melewatkan minuman khas di sekitar Candi Prambanan. Es dawet yang legit selalu mengundang orang untuk mampir. Di Jalan Raya Yogya-Solo dekat kawasan Candi Prambanan, sederatan penjual es dawet ramai pembeli terutama hari libur. Hanya dengan Rp. 2000,- segelas dawet dapat dinikmati. Semakin maknyus bila ditambahkan tape ketan manis. Murah sekali. Cukup membayar Rp.500,- untuk setiap tape ketan berbungkus daun pisang. Legit, manis dan murah. Dijamin satu gelas terasa kurang, apalagi dalam cuaca panas di musim kemarau.
Yogyakarta, 19 Agustus 2013
Tiket masuk dan brosur informasi Ratu Boko
Di bawah gapura pertama, pengunjung memandang gapura kedua
Seorang anak kecil di gapura kedua
Pandangan ke arah barat dari gapura kedua
Lanskap Ratu Boko ke arah selatan dilihat dari gapura kedua
Pohon randu dan kelapa di depan paseban
Pohon rindang tempat bernaung pedagang dengan gapura Ratu Boko di barat
Bangunan di salah satu sisi Ratu Boko
Tumpukan batu reruntuhan situs Ratu Boko
Bagian situs Ratu Boko yang masih utuh
Ratu Boko dengan latar gunung seribu
Bagian dari bangunan di selatan situs Ratu Boko
Kolam selatan terdiri dari 27 kolam bundar dan 1 kolam persegi empat
Kolam utara terdiri dari 7 kolam persegi panjang
Kolam dengan pegunungan seribu dilatarnya
Batu andesit reruntuhan situs Ratu Boko
Pengunjung melepas lelah di kawasan Ratu Boko
Pengunjung bermain dengan rusa
Melepas lelah dengan segelas dawet hanya Rp.2000,-/gelas
Dawet legit khas kawasan Prambanan di Jl Raya Solo-Jogja
Tape manis pelengkap dawet Rp.500,-/bungkus
1 responses to “Menyusuri Jejak Abad ke-8 di Ratu Boko”